Oleh: K.H. Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I (Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah)
Multikulturalisme—istilah multikultural saja lebih aman. Namun ketika multikultural menjadi suatu ideologi, ini dapat menjadi masalah serius. Keragaman budaya dan latar belakang masyarakat merupakan fakta kehidupan. Keragaman ini cukup diposisikan sebagai fakta, dan kita saling memberikan ruang untuk memegang ragam budaya, kultur, serta keyakinan masing-masing. Tidak perlu ada upaya menyatukan berbagai ragam budaya, etnik, apalagi agama. Ini bersifat rasional dan menjadi pemahaman dasar. Penjelasan akademik lebih mendalam, seperti rujukan dari Wikipedia, dapat dibaca dalam slide yang akan dibagikan.
Guru kita, Profesor Doktor Amin Abdullah, menjelaskan multikulturalisme sebagai suatu gerakan teologis untuk memahami seluruh perbedaan pada diri manusia. Perbedaan harus diterima sebagai hal alamiah dan tidak menjadi alasan tindakan diskriminatif yang didorong rasa iri, dengki, atau buruk sangka. Multikulturalisme bukan sekadar fakta keragaman sosiologis, melainkan juga memerlukan kesadaran keagamaan bahwa keberagaman dalam kehidupan manusia tidak boleh melahirkan sikap diskriminasi, apalagi yang berdasar karakter buruk seperti iri, dengki, atau su’udzan. Dalam hal ini tidak ada masalah. Tidak ada upaya menyatukan berbagai ragam budaya dan kultur yang ada.
Para penyeru multikulturalisme memiliki pandangan khas tentang agama. Setiap agama memiliki nilai khusus yang hanya ada pada agamanya sendiri dan nilai-nilai umum. Aspek khusus—misalnya akidah dan hukum syariat—bersifat spesifik dan eksklusif bagi setiap agama. Namun aspek moralitas banyak yang dapat disepakati lintas agama. Multikulturalisme tidak menghilangkan nilai-nilai eksklusif tersebut. Nilai khas pada setiap agama—seperti kewajiban salat, larangan zina, larangan khamr, dan kewajiban menutup aurat dalam Islam—harus diakui sebagai sesuatu yang eksklusif. Nilai-nilai ini tidak boleh dicampuradukkan. Jika suatu agama membolehkan hal yang dilarang agama lain, pencampuran itu akan menimbulkan kerusakan.
Dalam berinteraksi dengan komunitas luar agama, yang dipegang adalah nilai-nilai universal. Dalam Islam, prinsip lakum dīnukum wa liya dīn sudah dikenal. Beberapa poin perlu diperhatikan.
Multikulturalisme memiliki dampak signifikan pada praktik dakwah karena masyarakat beragam budaya, etnis, dan agama. Pendakwah dihadapkan pada tugas kompleks untuk memahami dan berinteraksi dengan berbagai latar belakang tersebut. Para dai dan mubalig wajib memahami secara mendalam budaya dan nilai-nilai berbeda di tengah masyarakat. Perbedaan tradisi lokal antardaerah—misalnya Jawa, Sulawesi, atau Aceh—harus diperhatikan. Dalam menyampaikan dakwah lisan, berlaku prinsip: likulli maqāmin maqāl, wa likulli maqālin maqām (setiap tempat memiliki ucapan relevan, dan setiap ucapan memiliki tempat relevan). Ucapan baik tidak boleh diletakkan pada konteks tidak tepat, begitu pula sebaliknya.
Multikulturalisme dalam konteks sosiologis memengaruhi struktur dan interaksi sosial masyarakat. Faktor status ekonomi, politik, dan sosial berperan dalam pemahaman dan penerimaan dakwah di lingkungan multikultural. Struktur dan interaksi sosial—di perkotaan, perdesaan, latar belakang profesi, usia—sangat berpengaruh pada respons masyarakat terhadap dakwah. Para dai harus menyadari hal ini. Konflik sosial, integrasi sosial, disintegrasi sosial, dan identitas sosial juga memengaruhi aktivitas dakwah.
Belum lama ini terjadi ketegangan di Sumatera Barat terkait isu rumah ibadah. Kembali kepada para dai, persoalan seperti ini harus dipahami dengan baik. Segala aktivitas dakwah sangat dipengaruhi faktor-faktor tersebut. Efektivitas penerimaan dakwah juga sangat dipengaruhi kapasitas dan pengetahuan mubalig dalam menyampaikan pesan. Pesan kebaikan yang sama kepada komunitas berbeda, dengan gaya penyampaian, diksi, dan pemilihan kata berbeda, akan sangat berpengaruh.
Interaksi masyarakat dengan dai dan dakwah akan melahirkan persepsi beragam. Ini berpengaruh pada pemahaman dakwah. Salah satu tantangan utama adalah perbedaan budaya anggota masyarakat yang beragam. Pendakwah harus memahami budaya tersebut agar dapat berinteraksi dan menyampaikan pesan agama secara tepat. Misalnya perbedaan bahasa: pendakwah perlu memahami bahasa komunitas sasaran dan menggunakan alat bantu terjemah jika diperlukan. Tidak ada rasul diutus Allah kecuali bi lisāni qaumihi (dengan bahasa kaumnya). Lisān mencakup lisānul hāl (bahasa tubuh) dan lisānul maqāl (pemilihan kata, struktur, diksi).
Masyarakat multikultural sering memiliki keyakinan berbeda. Pendakwah perlu menavigasi perbedaan ini dengan bijaksana agar tidak menimbulkan konflik atau ketegangan. Di Indonesia, perbedaan budaya dan keyakinan sangat penting. Jangan sampai maksud baik gagal karena pilihan kata tidak tepat, atau audiens belum dipahami secara akurat. Ketika mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, Rasulullah memberikan pemahaman sosiologis: innaka sata’tī qawman ahlal kitāb (engkau akan mendatangi kaum ahli kitab).
Untuk mengatasi tantangan multikulturalisme, pendakwah harus memiliki pemahaman mendalam tentang budaya dan nilai-nilai masyarakat sasaran. Ini membantu menghormati dan mengapresiasi perbedaan serta berkomunikasi lebih efektif. Realitas masyarakat tidak seragam. Misalnya di Yogyakarta yang penuh simbol. Suatu ketika mubalig Muhammadiyah berdiskusi dengan Sultan Mataram ke-10. Seorang mubalig bertanya mengapa keraton tidak melarang masyarakat menyakralkan air bekas membasuh keris. Sultan menjawab, raja Jawa umumnya menggunakan bahasa simbolik. Membasuh keris di depan publik adalah edukasi simbolis tentang pentingnya kebersihan. Jika ada masyarakat yang menyalahgunakan sisa air itu, “Itulah tugas para mubalig untuk menjelaskan.” Ini contoh pentingnya bijaksana: jangan langsung menyalahkan apa yang tampak disakralkan masyarakat.
Faktor sosial, politik, dan budaya memengaruhi praktik dakwah. Faktor sosial mencakup struktur sosial, tingkat pendidikan, dan status ekonomi. Dakwah kepada orang kaya tidak sama dengan kalangan ekonomi bawah karena masing-masing memiliki masalah berbeda. Dakwah harus menjadi solusi masalah kehidupan mereka. Faktor politik juga penting. Realitas politik pemerintahan berbeda memengaruhi suasana psikologis masyarakat. Hal-hal terkait politik masa lalu mungkin tidak relevan dibawa sekarang, termasuk cara dai meresponsnya. Istilah seperti “kadrun” atau “cebong” relevan untuk masa lalu, tidak perlu disebutkan dalam dakwah sekarang. Faktor budaya juga demikian.
Muhammadiyah memandang fakta keragaman berdasarkan pandangan para ahli. Dinamika kebudayaan dan kemajuan peradaban Islam berjalan sangat cepat, terutama di era disrupsi saat ini. Pandemi COVID-19 mempercepat lompatan kebudayaan yang diperkirakan terjadi tahun 2030. Satu jurnal menyebut “Titik Balik Peradaban” terjadi tahun 2020. Persiapan di tahun 2020 menentukan kesiapan menghadapi tantangan era emas 2030-2040.
Diperlukan ikhtiar berinteraksi dengan perkembangan tersebut. Muhammadiyah menyadari mustahil berpangku tangan sementara dinamika masyarakat begitu dahsyat. Budaya digital baru muncul sangat cepat. Judi online belum menjadi narasi 10-15 tahun lalu, bahkan pada Muktamar Makassar 2015 atau Muktamar Yogyakarta. Fenomena grogem pada miras (minuman keras) atau seks online juga mengemuka. Seorang bupati di Jawa Timur menyatakan kesulitan mengendalikan seks online karena terjadi di gadget masing-masing masyarakat.
Muhammadiyah memandang objek dakwah sangat beragam. Jika dulu dikenal kategori abangan atau priyayi, kini keragaman masyarakat digital sangat kompleks. Agnotisisme mencapai persentase cukup tinggi; banyak orang tidak peduli lagi dengan kebenaran kitab suci. Generasi agnotis muncul, sehingga pembelajaran tauhid dan akidah harus diperbarui. Teknologi digital membuat mereka mempertanyakan peran Tuhan dalam kehidupan. Hidup mudah dengan sentuhan teknologi memicu pertanyaan bahkan keraguan tentang Tuhan.
Keragaman dalam masyarakat berubah sesuai perubahan kehidupan. Perubahan kini terjadi secara ekstrem. Rasulullah SAW pernah mengisyaratkan: bādirū bil a’māl (cepatlah beramal sebelum datang suatu zaman). Realitas kehidupan seperti penggalan malam gelap gulita: pagi beriman, sore kafir, atau sebaliknya. Segala hal ditransaksikan untuk kepentingan dunia, jabatan, dan sebagainya. Perubahan dahsyat ini terlihat dalam kehidupan: pendusta dipercaya, orang amanah didustakan, pengkhianat dihormati. Hadis-hadis tentang hal itu terjadi di era disrupsi kita.
Sebagai fakta keragaman, Islam tidak bermasalah dengan hal ini. Allah menyatakan: wa laqad karramnā banī ādama (QS. Al-Isra: 70). Di sini Allah secara universal memuliakan Bani Adam. Kemuliaan manusia berlaku secara ontologis. Ayat ini menyebut: wa fadhdhalnāhum ‘alā katsīrim mimman khalaqnā tafdhīlā (dan Kami lebihkan mereka atas makhluk lain). Ini pandangan Islam tentang pemuliaan dan pengutamaan manusia. Kemudian: wa ja’alnākum syu’ūban wa qabā’ila lita’ārafū (QS. Al-Hujurat: 13). Islam menjadikan persaudaraan antarmanusia sebagai konsekuensi iman (tafā’ulul īmān), bahkan melekat pada keimanan itu sendiri. Al-Quran menegaskan: innamā al-mu’minūna ikhwātun (QS. Al-Hujurat: 10). Sikap Islam ini tidak bermasalah dengan realitas kemanusiaan.
Allah berfirman: wa law syā’a rabbuka laja’ala an-nāsa ummataw wāhidah (QS. Huud: 118). Pluralitas, keragaman, atau kebinekaan merupakan sunatullah yang dikehendaki Allah. Perbedaan warna kulit, suku, atau bangsa bukan penghalang untuk saling lita’ārafū (saling mengenal), saling mendekatkan, tolong-menolong, dan saling menyempurnakan. Allah menyatakan jika Dia menghendaki, manusia dijadikan satu umat saja.
Kita juga melihat: wa min āyātihi khalqu as-samāwāti wal ardhi wakhtilāfu alsinatikum wa alwānikum (QS. Ar-Rum: 22). Keragaman dalam masyarakat menjadi kebanggaan universal umat manusia. Ayat ini menyatakan: inna fī dzālika la’āyātin lil ‘ālamīn (pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah). Perbedaan bahasa dan warna kulit justru sangat istimewa. Dari sini kita saling belajar. Wa ja’alnā minal mā’i kulla syai’in hayy (QS. Al-Anbiya: 30). Hal-hal ini bukan hal baru bagi para mubalig.
Rasulullah SAW dalam Khutbah Wada’ bersabda: Yā ayyuhan nās (wahai manusia)—bukan yā ayyuhalladzīna āmanū (wahai orang beriman). Beliau menyapa umat manusia universal: inna dimā’akum wa amwālakum wa a’rāḍakum harāmun ‘alaikum (sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian haram dilanggar), kecuali dengan ketentuan Allah, sampai kalian bertemu-Nya. Fa sayas’alukum (kelak Dia akan meminta pertanggungjawaban amal), termasuk apakah kita menjaga kehormatan, harta, dan jiwa orang yang tidak seakidah dengan kita. Kama ya’lamu ahadukum diyāra ahlihi (sebagaimana kalian mengetahui negeri kalian).
Kemudian: wa man qatala nafsan bi ghairi nafsin aw fasādin fil ardhi fa ka’annamā qatalan nāsa jamī’ā (membunuh satu jiwa sama dengan membunuh semua manusia). Wa man ahyāhā fa ka’annamā ahyan nāsa jamī’ā (menghidupkan satu jiwa sama dengan menghidupkan semua manusia) (QS. Al-Maidah: 32). Islam sangat manusiawi, rasional, dan jelas: Lā ikrāha fī ad-dīn (tidak ada paksaan dalam agama) (QS. Al-Baqarah: 256). Af anta tukrihun nāsa hattā yakūnū mu’minīn (apakah engkau akan memaksa manusia hingga mereka beriman?) (QS. Yunus: 99). Lasta ‘alaihim bi musaythir (engkau bukanlah penguasa atas mereka) (QS. Al-Ghasyiyah: 22).
Relasi antarmanusia dalam Islam tunduk pada hukum akhlak dan moral (mahkūmah bi qawā’id akhlāqiyah). Hukum pidana (hudūd) dalam agama tidak boleh dinistakan atau menjadi alat kezaliman. Rasulullah bersabda: Aẓ-ẓulmu ẓulumātun yaum al-qiyāmah (kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat)—berlaku universal. Tidak boleh mengatakan yang dizalimi bukan kelompok atau keyakinan kita. Ulama menjelaskan: doa orang terzalimi—bahkan dari luar keyakinan kita—dikabulkan Allah.
Ikatan etika dan moralitas menjadi bingkai berinteraksi dengan perbedaan. Tidak boleh melampaui batas. Misalnya ketika suatu kaum berbuat buruk, kita tidak boleh berlebihan merespons. Kisah Abdullah bin Rawahah yang diutus ke Khaibar oleh Rasulullah untuk menilai pertanian Yahudi dan menentukan kompensasi perlindungan jiwa-harta mereka. Orang Yahudi ingin menyuap Abdullah bin Rawahah. Dia menjawab: “Kalian makhluk Allah yang paling aku tidak sukai! Kalian bunuh para nabi, dustakan Tuhan! Tapi sikap akidahku tidak membuatku melampaui batas.” Orang Yahudi itu berkata: “Sikap Andalah yang menegakkan langit dan bumi.”
Masyarakat dalam Islam mendapatkan perhatian dan kemuliaan jika berupaya memenuhi syarat terciptanya keamanan, kedamaian, dan keharmonisan. Manusia tidak akan aman dan bahagia tanpa ta’āwun (tolong-menolong), termasuk menerima perbedaan: wa ta’āwanū ‘alal birri wa at-taqwā (tolong-menolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan) (QS. Al-Maidah: 2).
Kerja sama antar penganut agama dan kebudayaan berbeda harus bertujuan menjaga dan melindungi hak-hak manusia universal sesuai prinsip Islam: hak hidup, kebebasan beragama, keadilan, dan persamaan. Kerja sama ini hanya terwujud melalui dialog produktif dan konstruktif yang mengarah pada tafāhum (saling memahami), toleransi, dan tenggang rasa.
Bahkan dalam debat teologis, harus diusung al-ihsan (cara terbaik): wa lā tujādilū ahlal kitābi illā billatī hiya ahsan (jangan berdebat dengan Ahli Kitab kecuali dengan cara terbaik) (QS. Al-Ankabut: 46). Ini dicontohkan Rasulullah. Saat tiba di Madinah, tokoh Yahudi ikut menyambut karena penasaran dengan sosok Nabi. Dia berkata: “Aku melihat wajahnya. Dari raut muka, Muhammad bukan pendusta.”
Ajaran pertama Nabi di Madinah: afsyūs salām (tebarkan kedamaian), ath’imūt tha’ām (berilah makan), wa shilū al-arhām (sambung silaturahmi), wa shallū bil-lail wa an-nāsu niyām (salat malam saat manusia tidur), tadkhulū al-jannah bi salām (masuk surga dengan damai). Empat ajaran awal ini: tiga urusan kemanusiaan (salam, logistik/filantropi, kohesivitas sosial), baru aspek ketuhanan (salat malam).
Rasulullah juga membangun Masjid Nabawi, mempersaudarakan Muhajirin-Anshar (al-mu’ākhāh), dan menginisiasi Piagam Madinah (Shahīfah al-Madīnah). Saat Nasrani Najran datang audiensi, Rasulullah menerima mereka di Masjid Nabawi—tempat sangat mulia. Menurut kitab Zādul Ma’ād karya Ibnul Qayyim al-Jauziyah, saat tidak ada tempat kebaktian, Rasulullah mengizinkan mereka beribadah di masjid. Fakta ini menunjukkan Islam telah selesai secara teologis dalam menyikapi perbedaan.
Muhammadiyah mendefinisikan dakwah kultural sebagai upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas, demi mewujudkan masyarakat Islam sebenar-benarnya. Dakwah kultural bukan hanya bicara seni—seni hanya satu aspek. Bagi masyarakat digital, kultural berarti digitalized society (masyarakat saling terhubung). Intinya, dakwah kultural mencakup semua aspek; ilmu pengetahuan juga bagian kebudayaan. Manusia sebagai makhluk budaya berarti semua aktivitas tradisi hasil akal budi manusia harus menjadi sasaran penanaman nilai Islam.
Dakwah kultural sebagai strategi perubahan sosial bertahap sesuai kondisi empirik, diarahkan pada pengembangan kehidupan Islami sesuai paham Muhammadiyah yang bertumpu pada pemurnian (purifikasi) dan pengamalan ajaran dengan menghidupkan ijtihad dan tajdid. Dokumen lama (Tanwir dan Musyawarah Pimpinan 2000) perlu diupdate dengan Risalah Islam Berkemajuan—dijelaskan dalam buku Haedar Nashir. Gerakan Islam Berkemajuan wajib dipahami para mubalig.
Sebagai mubalig, kita membebaskan umat manusia dari penyembahan selain Allah. Pertama: membebaskan dari belenggu keyakinan keliru tidak rasional. Misalnya ziarah kubur yang baik, tetapi jika kubur diperlakukan tidak semestinya, perlu diluruskan. Kedua: memberi ruang rasionalisasi untuk memakmurkan kehidupan sekaligus memperkuat keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Hidup. Ada keseimbangan antara membebaskan manusia dari tahayul, khurafat, bid’ah (TBC), dan mengedukasi penggunaan rasio untuk kebaikan.
Dalam budaya lokal: sisa animisme-dinamisme dan mitos (misal Nyi Roro Kidul di Jawa) atau produk budaya pop (seperti dari Korea) perlu direspons dengan menghadirkan alternatif budaya positif, bukan dicela. Fenomena LGBT sebagai sampah peradaban materialisme juga perlu direspons.
Dakwah kultural Muhammadiyah menginjeksikan nilai-nilai Islam ke dalam ragam kebudayaan. Ini butuh pendekatan strategi, komunikasi, dan relasi—tidak bisa dikerjakan sendiri. Perlu kerja sama internal dan eksternal Muhammadiyah, fokus pada penyadaran agar manusia menerima ajaran Islam menyeluruh (budaya, ekonomi, politik).
Dakwah kultural dalam arti luas adalah kegiatan dakwah dengan memperhatikan potensi manusia sebagai makhluk berbudaya, menghasilkan kultur alternatif lebih Islami yang dijiwai pemahaman dan penghayatan ajaran Islam Muhammadiyah (bersumber Al-Quran-Sunnah), memberi ruang ijtihad, serta melepaskan masyarakat dari kultur bermuatan kemusyrikan, tahayul, khurafat, bid’ah, dan kemusyrikan digital masa kini.
Dalam pengertian khusus: kegiatan dakwah dengan memperhatikan, memperhitungkan, dan memanfaatkan adat istiadat, seni, dan budaya lokal yang tidak bertentangan ajaran Islam dalam proses menuju kehidupan Islami sesuai manhaj Muhammadiyah (bertumpu pada pemurnian dan pembaharuan). Risalah Islam Berkemajuan menegaskan manusia sebagai makhluk kebudayaan—dakwah harus masuk ke semua aspeknya.
Ada Tabshir, Islah, dan Tajdid (TIT) dakwah kultural:
- Tabshir: dakwah berkarakter mengembirakan (bil-hikmah wal mau’izhah al-hasanah).
- Islah: dakwah yang melahirkan kemaslahatan.
- Tajdid: dakwah inovatif melahirkan kebaruan (novelty), konsisten pada prinsip purifikasi namun menggunakan pendekatan instrumental terkini.
Sebentar lagi masuk Rabiul Awal. Dalam pemahaman Muhammadiyah, perayaan maulid bukan ibadah mahdhah, melainkan ekspresi kebudayaan. Para mubalig tidak perlu antipati. Isinya bisa ceramah, taklim, atau kegiatan filantropi/kemanusiaan (lomba pidato, khitan massal gratis). Ini bagian kebudayaan yang bermanfaat—bahkan bagi anak-anak yang sulit memahami konsep abstrak, bisa melalui atraksi (drama sejarah Rasulullah).
Beberapa poin penting ini harus dikaitkan dengan Risalah Islam Berkemajuan—aspeknya sangat luas. Peran kita bukan hanya di lokalitas Indonesia, tapi memasuki kehidupan global tanpa sekat. Risalah ini menekankan pengkhidmatan kepada umat manusia, bangsa, dan masa depan. Sebagai mubalig, kita berpegang pada tiga kata kunci: Tabshir (mengembirakan), Islah (melahirkan kemaslahatan), dan Tajdid (pembaharuan). Bukan kembali ke nativisme, tapi memberi ruang lebih Islami dalam aktivitas kultural masyarakat.
Tulisan ini merupakan Materi pada Sekolah Tabligh Bath #2 Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan, 12 Agustus 2025.