web stats
Home » Islam dan Sekularisme: Kritik Epistemologis al-Attas terhadap Dominasi Nalar Barat

Islam dan Sekularisme: Kritik Epistemologis al-Attas terhadap Dominasi Nalar Barat

by Redaksi
0 comment

Hamdan Maghribi
Anggota Majelis Tabligh PWM Jawa Tengah
Pascasarjana UIN Surakarta

Pendahuluan

Kita hidup dalam zaman yang menyaksikan dominasi mutlak cara berpikir Barat atas hampir seluruh aspek kehidupan manusia modern; dari politik hingga pendidikan, dari ilmu pengetahuan hingga budaya populer. Namun, di balik kekuasaan ini, tersembunyi sebuah paradigma filosofis yang tidak netral. Ia memiliki sejarah, logika, dan bahkan agenda ideologis. Inilah yang disebut oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas sebagai proyek besar sekularisasi dan sekularisme. Dalam bukunya yang monumental, Islam and Secularism, al-Attas menyusun kritik tajam dan komprehensif terhadap arus modernitas Barat yang berusaha memisahkan dunia dari makna ilahiah.

Bagi al-Attas, persoalan mendasar umat Islam hari ini bukan sekadar keterbelakangan ekonomi atau teknologi, melainkan krisis worldview; cara pandang terhadap realitas, ilmu, dan makna kehidupan. Umat Islam, menurutnya, telah secara tidak sadar mengadopsi cara berpikir Barat yang sekularistik, relativistik, dan anti-metafisik. Maka yang dibutuhkan bukan hanya pembaruan sistem, tetapi pembaruan cara berpikir, yang ia sebut sebagai Islamisasi ilmu.

Sekularisme: Bukan Sekadar Pemisahan Agama dan Negara

Dalam diskursus publik, sekularisme sering dipahami secara sederhana sebagai pemisahan antara agama dan negara. Tapi bagi al-Attas, sekularisme adalah sesuatu yang jauh lebih dalam dan mengakar. Ia adalah worldview, pandangan menyeluruh tentang realitas yang memisahkan dunia dari Tuhan, ilmu dari wahyu, akhlak dari agama, dan sejarah dari makna transenden.

Sekularisme modern, kata al-Attas, lahir dari konflik internal dalam tradisi Kristen Eropa. Ia bukan buah dari kitab suci (Injīl), melainkan hasil penafsiran filosofis terhadapnya oleh manusia Barat. Dalam sejarah Barat, terutama sejak Renaisans dan Pencerahan, agama dipinggirkan dari kehidupan publik. Ilmu pengetahuan, politik, dan etika dilepaskan dari referensi ilahiah. Nilai-nilai moral menjadi relatif, dan manusia didorong untuk menjadi “dewasa” dengan tidak lagi bergantung pada agama. Inilah yang disebut sebagai proyek emansipasi dari metafisika.

Al-Attas menyebut ini sebagai proses “secularization”; yakni pembebasan manusia dari kontrol agama atas akal dan bahasanya. Dalam paradigma ini, dunia bukan lagi ciptaan Tuhan yang memiliki makna transenden, melainkan sekadar ruang netral untuk eksploitasi, manipulasi, dan pembangunan.

Sekularisasi vs Sekularisme: Kritik atas Dikotomi Barat

Para intelektual Barat sering membedakan antara secularization (proses historis yang netral) dan secularism (ideologi yang eksplisit). Tapi al-Attas melihat keduanya sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Sekularisasi bukan sekadar proses netral. Ia adalah bentuk ideologis yang halus, sebuah sistem pengetahuan yang secara sistematis membongkar otoritas metafisika dan wahyu, lalu menggantinya dengan relativisme sejarah dan rasionalisme humanistik.

Bahkan ketika sekularisasi tampak “terbuka” terhadap pluralitas nilai, pada kenyataannya ia tetap memaksakan satu hal; bahwa tidak ada nilai mutlak, bahwa tidak ada kebenaran universal yang berasal dari Tuhan. Dengan kata lain, open-ended relativism justru menjadi doktrin baru yang meminggirkan agama sebagai sistem kebenaran.

Al-Attas menyebut bentuk halus ini sebagai secularizationism, yakni sekularisasi yang telah berubah menjadi ideologi dominan dalam pendidikan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan modern. Ia menuduhnya sebagai kekuatan hegemonik yang menyusup ke dalam struktur berpikir umat Islam, dan seringkali tanpa disadari oleh para ilmuwan dan cendekiawan Muslim sendiri.

Ontologi Sekular: Dunia sebagai Benda Mati

Salah satu fondasi utama sekularisme adalah ontologi yang memisahkan Tuhan dari alam. Al-Attas menyebut ini sebagai “disenchantment of nature”, penghilangan sakralitas dari alam. Dalam paradigma ini, alam bukan lagi ayat Tuhan, tetapi objek netral yang bisa dieksploitasi demi kepentingan manusia. Pandangan ini memungkinkan munculnya sains modern yang bebas dari nilai, bebas dari moralitas, dan bebas dari tujuan transenden.

Namun, al-Attas melihat ini sebagai krisis besar. Ketika alam kehilangan makna ilahiah, maka manusia pun kehilangan tempatnya dalam semesta. Ia menjadi makhluk tanpa arah, tanpa tujuan final, hanya hidup untuk membangun dunia yang lebih efisien namun lebih hampa. Inilah yang ia sebut sebagai “deconsecration of values”, pencabutan nilai sakral dari seluruh aspek kehidupan.

Paradigma ini sangat berbeda dari worldview Islam. Dalam Islam, alam adalah ciptaan Tuhan yang mengandung tanda-tanda (āyāt), nilai-nilai, dan keteraturan ilahiah. Ilmu bukan sekadar penjelasan tentang fenomena, tapi juga jalan menuju makrifat. Maka proyek Islamisasi ilmu bukan sekadar menambahkan label Islam pada sains Barat, tetapi menyusun ulang kerangka epistemologinya dari dasar.

Epistemologi Islam: Ilmu, Adab, dan Tauhid

Sebagai respon terhadap sekularisasi, al-Attas merumuskan fondasi epistemologi Islam yang terdiri dari tiga elemen utama; ilmu yang benar, adab, dan tauhid.

Ilmu yang benar adalah ilmu yang membimbing manusia kepada pengenalan terhadap hakikat sesuatu, bukan sekadar pengetahuan teknis. Adab adalah tata laku yang lahir dari kesadaran akan kedudukan manusia di hadapan Tuhan, alam, dan sesama. Tauhid adalah prinsip pemersatu yang mengaitkan seluruh ilmu, nilai, dan tindakan pada satu sumber mutlak, Allāh.

Dalam kerangka ini, ilmu tidak netral. Ia harus berakar pada aqīdah dan berorientasi pada tazkiyah. Al-Attas menolak klaim Barat bahwa ilmu modern bebas nilai. Ia menunjukkan bahwa ilmu modern justru sarat dengan nilai-nilai individualisme, utilitarianisme, dan sekularisme yang bersumber dari sejarah filsafat Eropa.

Maka Islamisasi ilmu bukanlah anti-sains, tapi kritik terhadap epistemologi sains modern yang terputus dari makna ilahiah. Islam tidak menolak metode, tetapi mengkritik metafisika yang melandasi metode itu.

Mengapa Sekularisme Tak Cocok bagi Dunia Islam

Al-Attas menegaskan bahwa Islam tidak pernah mengalami sejarah seperti Eropa. Dalam sejarah Islam, tidak pernah ada konflik antara agama dan ilmu, antara syariat dan akal, antara ulama dan filsuf. Karena itu, umat Islam tidak membutuhkan sekularisasi. Justru ketika umat Islam mulai meniru Barat dan mengimpor model sekular; baik dalam pendidikan, hukum, atau budaya, di situlah mereka mengalami disorientasi intelektual dan moral.

Kebanyakan intelektual Muslim modern, menurut al-Attas, mengalami “inferioritas epistemik.” Mereka begitu kagum pada capaian teknologis Barat sehingga tanpa sadar menerima worldview-nya secara utuh. Padahal teknologi bisa diadopsi tanpa harus menyerah pada nilai-nilai sekular. Yang dibutuhkan adalah selektivitas epistemik dan pemulihan worldview Islam.

Islam adalah agama yang memiliki hukum (syarīah), konsep ilmu, dan tatanan sosial yang utuh. Tidak seperti Kristen yang tidak memiliki sistem hukum komprehensif, Islam menyediakan kerangka total untuk menata kehidupan. Maka sekularisasi dalam Islam bukan hanya tidak perlu, tetapi justru merusak struktur fundamentalnya.

Sekularisme sebagai Krisis Peradaban

Al-Attas tidak hanya melihat sekularisme sebagai krisis Islam, tapi juga sebagai krisis Barat itu sendiri. Dalam pandangannya, Barat tengah mengalami kelelahan makna (exhaustion of meaning). Kemajuan sains tidak diimbangi dengan kebijaksanaan (wisdom). Ia punya kekuatan untuk menguasai dunia, tapi kehilangan arah tentang untuk apa dunia itu dikuasai.

Barat, menurut al-Attas, telah menukar makna dengan fungsi, nilai dengan kegunaan, dan kebenaran dengan kekuasaan. Dunia modern penuh dengan informasi tapi miskin kebijaksanaan. Di sinilah Islam, dengan spiritualitas dan tatanan ilahiahnya, menawarkan alternatif yang bukan saja relevan tetapi mendesak.

Islam bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi cara hidup dan cara berpikir yang koheren. Ia menyatukan antara ilmu dan akhlak, antara rasionalitas dan wahyu, antara kehidupan dunia dan akhirat. Itulah yang hilang dari peradaban Barat dan itulah yang perlu dipulihkan dalam dunia Islam.

Penutup

Buku Islam and Secularism bukan hanya kritik terhadap proyek modernitas Barat, tapi juga seruan untuk membangun kembali peradaban Islam dari akarnya; worldview. Al-Attas mengajak umat Islam untuk tidak sekadar menjadi konsumen pengetahuan, tetapi menjadi pencipta (produsen) makna. Ia menyerukan pemulihan adab intelektual dan pembebasan diri dari dominasi epistemologi Barat.

Islamisasi ilmu, dalam pengertian al-Attas, bukan anti-modernitas, tapi pemurnian dari jebakan ideologis modernitas yang membungkus dirinya dengan jargon netralitas dan objektivitas. Ini adalah upaya untuk mengembalikan ilmu kepada Tuhan, makna kepada kehidupan, dan manusia kepada fitrahnya.

Jika umat Islam ingin kembali membangun peradaban yang berwibawa dan bermakna, maka perjuangan utamanya bukan sekadar pada ranah politik atau ekonomi, tetapi di medan yang lebih dalam, epistemologi.

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00